Di Antara Doa Rasulullah – KonsultasiSyariah.com

Di Antara Doa Rasulullah – KonsultasiSyariah.com


Doa Pertama:

اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين.

“Allāhumma bi `ilmikal ghaib wa qudratika `alal khalqi aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati wa kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi, wa as-alukal na`īman lā yanfadu wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i wa bardal `aisyi ba`dal mauti, wa ladzdzatan naẓhari ilā wajhika wasy syauqa ilā liqā’ika wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin wa fitnatin muḍillatin allāhumma zayyinnā bizīnatil īmāni waj`alnā hudātan muhtadīn (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.”

صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخفَّها ، فَكأنَّهم أنْكروها ! فقالَ: ألم أُتمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ ؟ قالوا: بلى ، قالَ أمَّا أنِّي دعوتُ فيها بدعاءٍ كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليْهِ وسلَّمَ يدعو بِهِ اللَّهمَّ بعِلمِكَ الغيبَ وقدرتِكَ على الخلقِ أحيني ما علمتَ الحياةَ خيرًا لي وتوفَّني إذا علمتَ الوفاةَ خيرًا لي وأسألُكَ خشيتَكَ في الغيبِ والشَّهادةِ وَكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغضبِ وأسألُكَ نعيمًا لاَ ينفدُ وقرَّةَ عينٍ لاَ تنقطعُ وأسألُكَ الرِّضاءَ بالقضاءِ وبردَ العيشِ بعدَ الموتِ ولذَّةَ النَّظرِ إلى وجْهِكَ والشَّوقَ إلى لقائِكَ وأعوذُ بِكَ من ضرَّاءٍ مُضرَّةٍ وفتنةٍ مضلَّةٍ اللَّهمَّ زيِّـنَّا بزينةِ الإيمانِ واجعَلنا هداةً مُهتدين.

Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas, sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu. Dia mengatakan kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Mereka berkata, “Ya.” Dia berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, (yang artinya): ‘Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk, Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku, atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku, dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak, kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka, dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis, kesejukan mata yang tidak terputus, dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan, kesejukan hidup setelah kematian, kenikmatan memandang wajah-Mu, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan dan fitnah yang menyesatkan. Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk.’”

الراوي:

قيس بن عباد أو عبادة •الألباني •صحيح النسائي • الصفحة أو الرقم: 1305 • خلاصة حكم المحدث: صحيح

Perawi:

Qais bin Abbad atau Ubadah • Al-Albani • Sahih an-Nasa’i • Halaman atau nomor: 1305 • Ringkasan hukum hadis: Sahih

علَّمَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم أُمَّتَه آدابَ الدُّعاءِ، ومنها الثَّناءُ على اللهِ، والتَّوسُّلُ إليه بأسمائِه وصفاتِه؛ فإنَّ هذا سببٌ مِن أسبابِ استجابةِ الدُّعاءِ.

Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengajarkan kepada umatnya beberapa adab dalam berdoa, termasuk di antaranya adalah dengan menghaturkan puja-puji kepada Allah dan bertawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah salah satu di antara sebab-sebab terkabulnya doa.

وفي هذا الحديثِ يقولُ السَّائبُ الثَّقفيُّ: “صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ بالقومِ صلاةً أخَفَّها”، أي: صلَّى عمَّارُ بنُ ياسرٍ رضِيَ اللهُ عنهما صلاةً بالنَّاسِ، وكان إمامًا، فخفَّف وأوجَزَ في صلاتِه، “فكأنَّهم أنكَروها!”، أي: كأنَّ المصلِّين لَمَّا رأَوْا صلاتَه لم يَعرِفوا ولم يَعهَدوا هذه الصَّلاةَ مِن التَّخفيفِ والإيجازِ، فقال لهم عمَّارٌ: “ألم أُتِمَّ الرُّكوعَ والسُّجودَ؟”، أي: سألهم عمَّارٌ: أكان في هذا التَّخفيفِ والإيجازِ إخلالٌ بإتمامِ رُكوعِها وسجودِها، وما فيهما مِن طُمَأنينةٍ؟

Dalam hadis ini, disebutkan bahwa as-Sāʾib ats-Tsaqafi mengatakan, “Ammar bin Yasir pernah mengimami suatu kaum dengan salat yang ringkas.” Artinya bahwa Ammar bin Yasir —Semoga Allah Meridainya— salat bersama orang-orang, sementara dia menjadi imamnya. Dia meringankan dan memendekkan salatnya. “Sehingga seolah-olah mereka mengingkari perbuatannya itu!” Artinya bahwa mereka ketika melihat salatnya Ammar —Semoga Allah Meridainya—, seolah-olah mereka belum pernah melihat dan terbiasa dengan salat yang ringan dan singkat seperti itu. Oleh sebab itulah Ammar berkata kepada mereka, “Bukankah aku telah menyempurnakan rukuk dan sujud?” Maknanya bahwa Ammar bertanya kepada mereka, “Apakah dengan salat yang ringan dan singkat ini ada kekurangan dalam kesempurnaan rukuk dan sujudnya serta tidak tumakninah?”

قالوا: “بَلى”، أي: إنَّك أتمَمتَ ركوعَها وسجودَها، فقال عمَّارٌ: “أمَا إنِّي دعَوتُ فيها بدُعاءٍ كان النَّبيُّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم يَدْعو به”، أي: ومع هذا التَّخفيفِ والإيجازِ دعَوتُ في هذه الصَّلاةِ الَّتي صلَّيتُها بكم بدُعاءٍ سمعتُه مِن النَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم، وهو: “اللَّهمَّ بعِلْمِك الغيبَ وقُدرَتِك على الخَلقِ”، وفي هذا ثناءٌ على اللهِ وتوسُّلٌ إليه بأسمائِه وصفاتِه، والمعنى: اللَّهمَّ إنِّي أسألُك وأتوسَّلُ إليك بما عَلِمتَه من الغيبِ، والغيبُ ما خَفِي عن الإنسانِ ولا يَعلَمُه، والغيبُ يكونُ مُطلقًا، وهو ما استأثَر به اللهُ سبحانه وتعالى، مِثلُ علمِ السَّاعةِ، وقد يكونُ نِسْبيًّا، وهو ما يَغيبُ عن البعضِ، ويَعلَمُه غيرُهم، وقد يَرتَضي اللهُ لعبادِه مِن الأنبياءِ والمرسَلين أن يُطْلِعَهم على الغَيبِ بطريقِ الوحيِ؛ لِيَكونَ دَلالةً على صِدقِ نُبوَّتِهم.

Mereka berkata, “Ya.” Maknanya, “Engkau tetap menyempurnakan rukuk dan sujudnya.” Ammar berkata, “Padahal dalam salat itu aku berdoa dengan doa yang pernah dipanjatkan oleh Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, …” Maknanya, “Meskipun dengan salat yang ringan dan ringkas ini, aku tetap sempat berdoa dalam salat yang aku tegakkan bersama kalian ini dengan doa yang pernah aku dengar dari Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam, yaitu … “Allāhumma bi `ilmikal ghaibi … (artinya: “Ya Allah, dengan ilmu-Mu atas perkara gaib dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk).” Dalam kalimat ini ada pujian kepada Allah dan tawasul kepada-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Makna doa itu adalah “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan bertawasul kepada-Mu dengan perkara gaib yang Engkau Ketahui.” Perkara gaib adalah sesuatu yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh manusia. Perkara gaib ada yang sifatnya mutlak, yaitu sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah Subẖānahu wa Taʿālā, seperti ilmu tentang kapan terjadinya Kiamat. Namun, perkara gaib ada yang sifatnya nisbi, yaitu yang hanya tersembunyi bagi sebagian makhluk saja tapi diketahui oleh sebagian yang lain. Terkadang Allah Meridai sebagian hamba-hamba-Nya dari kalangan nabi dan rasul sehingga Menunjukkan kepada mereka tentang hal-hal gaib melalui wahyu untuk menjadi tanda kebenaran kenabian mereka.

وقولُه صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم: “وقُدرَتِك على الخَلقِ”، أي: أتوسَّلُ إليك بقُدرتِك الكاملةِ النَّافذةِ على جَميعِ مَخلوقاتِك ثمَّ شرَع في طلَبِ مسألتِه مِن اللهِ تعالى، وهو “أحْيِني ما عَلِمتَ الحياةَ خيرًا لي”، أي: ارزُقني الحياةَ إذا كان في سابقِ عِلمِك أنَّ الحياةَ تكونُ زِيادةً لي في الخيرِ؛ مِن التَّزوُّدِ من الأعمالِ الصَّالحةِ، والبرِّ، ونحوِ ذلك، “وتَوفَّني إذا عَلِمتَ الوفاةَ خيرًا لي”، أي: أمِتْني إذا كُنتَ تعلَمُ أنَّ الوفاةَ فيها خيرٌ لي، “وأسألُكَ خشيتَك في الغيبِ والشَّهادةِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الخوفَ منك، والتَّعظيمَ لك في سِرِّي وخَلْوتي، إذا غِبتُ عن أعيُنِ النَّاسِ، وفي عَلانيَتي، أو كُنتُ بين النَّاسِ

Dan sabda beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam “wa qudratika ‘alal khalqi … (artinya: dan dengan qudrah-Mu atas seluruh makhluk),” maknanya “Aku bertawasul kepadamu dengan qudrah-Mu yang sempurna yang pasti berlaku pada seluruh makhluk-Mu.” Kemudian, beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mulai meminta kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, “Aḥyinī mā `alimtal ḥayāta khairan lī … (artinya: Hidupkan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kehidupan itu baik bagiku).” Maknanya, “Berilah aku kehidupan jika berdasarkan ilmu-Mu yang azali kehidupan ini menjadi tambahan kebaikan bagiku, bekal amal saleh, kebajikan, dan kebaikan yang semisalnya. “Wa tawaffanī idzā `alimtal wafāta khairan lī … (artinya: atau Matikan aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu baik bagiku),” maknanya, “Matikan saja aku jika Engkau Mengetahui bahwa kematian itu lebih baik bagiku.” “Wa as-aluka khasy-yataka fil ghaibi wasy syahādati … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu rasa takut kepada-Mu saat dilihat orang maupun tidak),” maknanya, “Aku mohon kepada-Mu agar Engkau Berikan kepadaku rasa takut kepada-Mu dan pengagungan terhadap-Mu saat sendiri dan tidak bersama orang lain, saat aku tidak dilihat oleh orang-orang dan di keramaian, atau ketika di tengah manusia.”

“وكلمةَ الإخلاصِ في الرِّضا والغَضبِ”، يَحتمِلُ أن يكونَ المعنى: أسألُك الثباتَ على كلمةِ الإخلاصِ وهي كلمةُ التَّوْحِيدُ للهِ تعالى، أو هي النَّصيحةُ الخالِصَةُ عَنِ الرِّياءِ والسُّمْعَةِ، وفي روايةٍ أخرى عندَ النَّسائيِّ أيضًا  “وأسألُك كلمةَ الحَقِّ”؛ فيكونُ المعنى: وأسألُك قولَ الحقِّ، والتَّكلُّمَ به في حالِ رِضايَ وسُروري، وفي حالِ غضَبي وانفِعالي؛ فلا أتَكلَّمُ بباطلٍ، ولا أميلُ عن الحقِّ، بحيثُ لا تُلجئني شِدَّةُ غصبي إلى النُّطقِ بخِلافِ الحقِّ، ويَحتمِلُ أنْ يكون المعنى: أسألُك قولَ الحقِّ في حالتَيْ رِضا الخَلقِ عنِّي، وغضبِهم عليَّ فيما أقولُه؛ فلا أُداهن، ولا أُنافِق، بل أكونُ مُستمِرًّا على قول الحقِّ في جَميعِ أحوالي وأوقاتِي.

“Kalimatal ikhlāṣi fir riḍā wal ghaḍhabi … (artinya: kalimat ikhlas saat sedang rida maupun murka).” Ada kemungkinan bahwa maknanya adalah “Aku mohon kepada-Mu keteguhan di atas kalimat keikhlasan, yaitu kalimat tauhid kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā, atau mungkin maknanya adalah nasihat yang bersih dari Riyāʾ (ingin dilihat orang) dan Sumʿah (ingin didengar orang).” Dalam riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh an-Nasa’i disebutkan: “Wa as-aluka Kalimatal haqqi… (artinya: Dan aku memohon kepada-Mu kalimat yang hak …)” sehingga maknanya, “Aku memohon kepada-Mu kalimat yang benar yang aku katakan saat aku sedang rida dan senang maupun saat aku murka dan emosi, sehingga aku tidak berkata perkataan yang batil dan tidak menyimpang dari kebenaran, karena kemarahanku yang memuncak biasanya mendorongku untuk berbicara sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran.” Mungkin juga maknanya, “Aku meminta kepada-Mu perkataan yang hak, baik saat orang-orang suka denganku atau ketika mereka sedang marah kepadaku karena apa yang aku katakan, sehingga aku tidak harus berlagak sok baik atau menjadi munafik demi mereka, melainkan tetap mengatakan kebenaran dalam segala keadaan dan di setiap waktu.”

“وأسألُك نَعيمًا لا يَنفَدُ”، أي: وأدعوك أن تَرزُقَني النَّعيمَ المقيمَ الَّذي لا يَنتهي ولا يَنقضي، ولا يَنقطِعُ، وهو نَعيمُ الجنَّةِ، “وقُرَّةَ عينٍ لا تَنقطِعُ”، وقُرَّةُ العينِ قيل: معناها بَرْدُها، وانقطاعُ بُكائِها واستِحْرارِها بالدَّمعِ؛ فإنَّ للسُّرورِ دَمعةً باردةً، وللحُزنِ دَمعةً حارَّةً، وقيل: هو مِن القرارِ: أي: رأَتْ ما كانت مُتشوِّفةً إليه، فقَرَّت ونامَت، وقيل: أقَرَّ اللهُ عينَك: أي: بلَّغَك أُمنيَّتَك حتَّى تَرضى نفسُك، وتَسكُنَ عَينُك، فلا تَستشرِفَ إلى غيرِه.

“Wa as-alukal na`īman lā yanfadu … (artinya: dan aku meminta kepada-Mu nikmat yang tidak habis),” maknanya: “Aku berdoa kepada-Mu agar Engkau Menganugerahkan kepada-Ku kenikmatan yang kekal yang tidak habis dan tiada hentinya serta tidak pernah terputus, yakni kenikmatan surga.” “wa qurrata `ainin lā tanqaṭhi`u … (artinya: kesejukan mata yang tidak terputus,).” Ada yang mengatakan bahwa Qurrata `ain berarti ‘kesejukan mata’, yang terhenti tangisannya dan terbebas dari derai air mata, karena kebahagiaan adalah air mata yang menyejukkan, sementara kesedihan adalah air mata yang menyengat. Ada yang mengatakan bahwa asalnya dari kata Qarār (ketenangan) yang maknanya adalah mata yang melihat sesuatu yang dirindukannya sehingga bisa tenang dan terlelap. Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan Mewujudkan cita-cita sehingga jiwanya tenteram, pandangannya tenang, dan tidak melihat ke yang lain lagi.

وقيل: أقرَّ اللهُ عينَك: أي: صادَفْتَ ما يُرضيك، فتقَرُّ عينُك عن النَّظرِ إلى غيرِه، والمعنى: أن تَقَرَّ عينُه بطاعةِ اللهِ سبحانه وتعالى، والأُنسِ بذِكْرِه، وقيل: أن تَقَرَّ عينُه برُؤيةِ ذُرِّيَّتِه مُطيعين للهِ تعالى، “وأسألُك الرِّضاءَ بالقضاءِ”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الرِّضا بما قضَيتَه وقدَّرتَه، فتَلْقاه نفْسي وهي مُطمئنَّةٌ، فلا أتسَخَّطُ، ولا أتضَجَّرُ، “وبَرْدَ العيشِ بعدَ الموتِ”، أي: وأسـألُك عَيشًا يكونُ طيِّبًا لا يكونُ فيه نَكدٌ وكَدرٌ، بل يكونُ فيه انشراحٌ للصَّدرِ، وتكونُ الرُّوحُ فيه بعدَ الموتِ في مَكانةٍ عاليةٍ، ومنزِلةٍ رفيعةٍ،

Ada yang mengatakan bahwa makna Allah Menyejukkan mata dengan tercapainya apa yang diinginkan, sehingga pandangan menjadi tenang karena tidak melihat ke yang lain lagi. Maknanya, jiwanya tenang dalam ketaatan kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā dan tenteram dengan zikir kepada-Nya. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah kesejukan jiwa dengan memandang anak keturunannya yang taat kepada Allah Subẖānahu wa Taʿālā. “wa as-alukar riḍā’a bil qaḍā’i … (artinya: dan aku mohon kepada-Mu keridaan terhadap ketetapan).” Maknanya, “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Memberikan kepadaku keridaan terhadap apa yang telah Engkau Tetapkan dan Takdirkan untukku, sehingga jiwaku menerimanya dengan lapang tanpa ada kemurkaan dan amarah. “wa bardal `aisyi ba`dal mauti … (artinya: kesejukan hidup setelah kematian)” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu kehidupan yang baik, yang tidak ada padanya keletihan dan masalah, yang di dalamnya hati menjadi lapang dan roh berada di tempat yang tinggi dan derajat yang mulia setelah kematian.”

“ولَذَّةَ النَّظرِ إلى وجهِك”، أي: وأسألُك رُؤيةَ وجهِك الكريمِ، التي هي أعلى وأكبَرُ نعيمٍ في الجنَّةِ، ووصَف هذا النَّظرَ باللَّذَّةِ؛ لأنَّ النَّظرَ إلى اللهِ قد يكونُ فيه خوفٌ وإجلالٌ، وقد يكونُ نظرًا فيه رحمةٌ ولطفٌ وجمالٌ، “والشَّوقَ إلى لقائِك”، أي: وأسألُك أن تَرزُقَني الاشتياقَ إلى مُلاقاتِك في دارِ المجازاةِ؛ فيكون قد جمَعَ في هذا الدعاءِ بين أطيبِ ما في الدُّنيا وهو الشوقُ إلى لِقاءِ اللهِ تعالَى، وأطيبِ ما في الآخرةِ، وهو النظرُ إليه سبحانَه،

“Ladzdzatan naẓari ilā wajhika … (artinya: kenikmatan memandang wajah-Mu),” maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar bisa melihat wajah-Mu yang mulia, yang merupakan kebahagiaan tertinggi dan terbesar di surga.” Memandang wajah ini dideskripsikan sebagai suatu kenikmatan, karena memandang Allah bisa menjadi rasa takut dan segan serta bisa jadi rahmat, kelembutan, dan keindahan, “Wasy syauqa ilā liqā’ika … (artinya: dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu), maknanya: “Aku memohon kepada-Mu agar Engkau Menganugerahiku kerinduan untuk bertemu dengan-Mu di negeri pembalasan.” Jadi, dalam doa ini beliau Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam mengumpulkan antara hal termanis di dunia, yaitu kerinduan untuk bertemu dengan Allah Subẖānahu wa Taʿālā, dan hal ternikmat di akhirat, yaitu memandang-Nya Subẖānahu wa Taʿālā.

“وأعوذُ بِك مِن ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ”، أي: وأحتَمي بك مِن كلِّ شِدَّةٍ يكونُ فيها ضررٌ عليَّ؛ لأنَّ بعضَ الضَّرَّاءِ قد تكونُ عاقبتُها نافعةً، “وفِتْنةٍ مُضِلَّةٍ”، أي: وأحتمي بك مِن فِتنةٍ توقِعُني في حَيرةٍ، وتكونُ عاقبتُها إلى الهلاكِ، وهنا وصَف الفِتنَ بالمضلَّةِ؛ لأنَّ بعضَ الفِتنِ قد تكونُ سببًا مِن أسبابِ الهِدايةِ، أو من بابِ الوَصفِ اللَّازمِ للفتنةِ؛ والفِتنةُ التي هي سببٌ مِن أسبابِ الهِدايةِ لا يُستعاذُ منها، وهي فِتنةُ الامتحانِ والاختبارِ التي يَصبِرُ فيها العبدُ ويُوفَّقُ للهدايةِ.

“Wa aʿūdzubika min ḍarrā’in muḍhirratin … (artinya: dan aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan yang membahayakan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari segala kesulitan yang membawa penderitaan yang membahayakan diriku, karena ada sebagian musibah bisa membawa akibat yang baik. “Wa fitnatin muḍillatin … (artinya: dan fitnah yang menyesatkan),” maknanya, “Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah (cobaan) yang yang menjatuhkanku dalam kebingungan yang mengakibatkan kebinasaan.” Fitnah di sini dideskripsikan sebagai sesuatu yang menyesatkan, karena sebagian fitnah bisa menjadi sebab untuk mendapatkan petunjuk. Mungkin juga fitnah di sini dideskripsikan dari sisi konsekuensi dari fitnah itu, sehingga fitnah yang menjadi salah satu penyebab hidayah tidaklah dimohonkan perlindungan darinya, yaitu fitnah yang berupa ujian dan cobaan yang mana seorang hamba bisa bersabar menghadapinya dan diberi taufik untuk mendapatkan hidayah.

ثُمَّ دعَا النبيُّ صلَّى الله عليه وسلَّم قائلًا: “اللَّهمَّ زَيِّـنَّا بزينَةِ الإيمانِ”، أي: يا رَبِّ أسألُك أن تُثبِّتَنا على الإيمانِ، وأن تُرسِّخَه في قُلوبِنا، وتُجمِّلَنا به، “واجعَلْنا هُداةً مهتَدِين”، أي: اجعَلْنا هادِين إلى الدِّينِ هُداةً في أنفسِنا، ثابِتين على طريقِ الهُدى، والهِدايةِ واليَقينِ، نكونُ صالِحين لأنْ نَهديَ غيرَنا.

Kemudian, Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam berdoa dengan mengatakan, “Allāhumma zayyinnā bizīnatil-īmāni … (artinya: Ya Allah, Hiasilah kami dengan perhiasan iman),” maknanya “Wahai Tuhanku, aku mohon kepada-Mu agar Engkau Meneguhkan kami di atas keimanan, Menguatkan keimanan itu dalam hati kami, dan Memperindah diri kami dengannya. “Waj`alna hudātan muhtadīn … (artinya: dan Jadikanlah kami pemberi petunjuk dan yang mendapat petunjuk),” maknanya: “Jadikan kami orang yang memberi petunjuk kepada agama Islam dan kami sendiri mendapatkan petunjuk itu, teguh pada jalan petunjuk, hidayah, dan keyakinan, sehingga kami layak menjadi orang yang bisa memberi petunjuk kepada orang lain.” 

وفي الحَديثِ: بيانُ حِرصِ الصَّحابةِ رضِيَ اللهُ عنهم على الاقتِداءِ بالنَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيه وسلَّم.

وفيه: التَّوسُّلُ إلى اللهِ في الدُّعاءِ بأسمائِه وصفاته .(مصدر الشرح: الدرر السنية)

Dalam hadis ini terdapat penjelasan tentang semangat para Sahabat —Semoga Allah Meridai mereka— dalam meneladani Nabi Ṣallallāhu ʿAlaihi wa Sallam. Dalam hadis ini terdapat anjuran untuk bertawasul kepada Allah ketika berdoa dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

(Sumber penjelasan: Durar as-Saniyyah)

🔍 Apakah Puasa Senin Kamis Harus Sahur, Cara Mengatasi Orang Kerasukan, Cara Merukiyah, Menghadapi Persalinan Menurut Islam, Cara Kirim Doa Buat Orang Yang Sudah Meninggal

Visited 57 times, 3 visit(s) today


Post Views: 16

QRIS donasi Yufid



heavy equipment


Motivation

News
Berita Olahraga
Berita Olahraga
Anime Batch
News
Pelajaran Sekolah
Berita Terkini
Berita Terkini

Review Film

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top